Membicarakan hadis “man ra’a> minkum munkaran falyughayyirhu bi yadihi, fa in lam yastat}i’ fa bi lisa>nih, fa in lam yastat}i’ fa bi qalbih wa dh>alik ad}’af al-i>ma>n : barang siapa di antara kalian melihat kemunkaran, hendaklah ia merubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah iman yang paling lemah”, setidaknya harus melihat bagaimana penyebutan hadis itu dalam kitab-kitab hadis, penjelasan hadis dalam kitab sharh} al-h}adi>th dan penggunaan hadis dalam tafsir al-Qur’an dan fiqih.
Setelah melalui kegiatan takhri>j al-h}adi>th, hadis tersebut terdapat pada s}ah}i>h} muslim ba>b baya>n kawn al-nahy ‘an al-munkar min al-i>ma>n ….. wa anna al-amr bi al-ma’ru>f wa al-nahy ‘an al-munkar wa>jiba>n, sunan abi> da>wud ba>b al-khut}bat yawm al-‘i>d dan ba>b al-amr wa al-nahy, sunan al-nasa>’i ba>b tafa>d}ul ahl al-i>ma>n, sunan ibn majah ba>b ma> ja>’a fi> s}ala>t al-‘idayn dan ba>b al-amr bi al-ma’ru>f wa al-nahy ‘an al-munkar, dan musnad Ahmad ibn H}anbal.Semua riwayat itu hanya bersumber dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri. Riwayat itu diawali dengan peristiwa yang terjadi pada diri Marwan ibn al-Hakam. Berdasarkan riwayat Abu Dawud, pada suatu hari raya ia mengeluarkan mimbar, lalu ia memulai khutbah sebelum melakukan salat hari raya. Melihat peristiwa itu seorang laki-laki berdiri dan mengatakan, “hai Marwan, engkau telah meninggalkan sunnah, karena engkau telah menggunakan mimbar dan melakukan khutbah sebelum salat hari raya. Lalu Abu Sa’id al-Khudri mengatakan, apa yang dikatakan laki-laki itu sesuai dengan apa yang pernah saya dengar dari sabda Rasul Allah saw. : man ra’a> minkum munkaran ….”. Pada kitab-kitab hadis itu, hanya Imam Muslim yang mewajibkan amar ma’ruf dan nahi munkar melalui pembuatan topik hadisnya. Sementara Abu Dawud dan Ibn Majah hanya menyebutkan amar ma’ruf dan nahi munkar dan tidak mewajibkannya, bahkan Abu Dawud dalam satu riwayatnya dan Ibn Majah justeru memasukkannya pada persoalan khutbah hari raya, dan al-Nasa’i memasukkannya pada persoalan keutamaan ahli iman. Itu artinya, tidak semua ahli hadis memahami hadis tersebut sebagai sebuah kewajiban melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Penjelasan terhadap hadis tersebut dalam kitab sharh} al-h}adi>th, misalnya sharh} al-nawa>wi> ‘ala> muslim, hadis itu digunakan untuk menghukumi perbuatan Marwan sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan sunnah Nabi saw., karena menurut riwayat yang bersumber dari Nabi saw., Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, sebagaimana diikuti ahli fiqih Negara Mesir, terlebih dahulu dilakukan salat hari raya baru khutbah. Pada matn hadis tersebut, perintah (fal yughayyirhu) merubah kemungkaran itu bersifat wajib, sebagaimana kewajiban melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, tetapi kewajiban itu hanya bersifat kifayat. Jika sebagian orang telah melakukannya, semua orang tidak berdosa. Namun jika semua orang tidak melakukannya padahal sangat mungkin, maka semua orang berdosa. Selain itu, menurut Imam al-Haramayn, amar ma’ruf dan nahi mungkar selain menjadi tugas penguasa, juga menjadi tugas orang-orang Islam. Hanya saja, sifat dan tingkatan nahi mungkar adalah, pertama dengan kekuasaannya bagi penguasa, kedua dengan lisannya bagi ulama’ dan ketiga dengan hatinya bagi umumnya orang Islam. Keterkaitan hadis tersebut dengan ayat 21 Surat Ali Imran adalah, bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar selain telah menjadi kewajiban umat terdahulu, juga menjadi pembeda antara orang mukmin dengan orang munafik. Hanya saja menurut Ibn ‘Abd al-Barr, kemungkaran harus diubah bagi orang yang mampu mangubahnya, sebagaimana isi hadis Abu Sa’id itu. Bahkan menghilangkan kemungkaran dimulai dari yang lebih ringan baru pada tingkatn berikutnya, dan dimulai dengan lisan kemudian dengan hukuman.
Dalam kajian fiqih disebutkan, bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar yang menjadi bagian tugas pemerintah dimaksudkan untuk menegakkan agama Allah. Karena itu, tujuan negara adalah mencapai keadilan bagi seluruh masyarakat, sebagaimana tujuan al-Qur’an, yang dapat dicapai dengan cara mencegah segala bentuk kemungkaran yang telah dilarang Allah. Terkait dengan itu, Ibn Taymiyyah menyimpulkan, bahwa kesuksesan hidup di dunia dan akherat hanya dengan jalan taat kepada Allah dan rasulNya yang disempurnakan dengan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Dengan cara demikian, ummat ini akan menjadi yang terbaik yang dilahirkan untuk semua manusia. Karena itu, sangat perlu mewujudkan aktualisasi hadis “man ra’a> minkum munkaran” dalam kehidupan ini, dengan tetap memperhatikan misi dakwah yang tentu dengan mengedepankan akhlak mulia; dan memperhatikan pencapaian kemaslahatan bagi kebanyakan orang.
Wa Allah A’lam
Hamim,
khamim.musa@yahoo.com WA. 081231142294
untuk link downloadnya silahkan klik di bawah ini