Assalamualaikum wr. wb.
Kami ingin menanyakan tentang berzikir dengan dipandu bilal setiap selesai dua rakaat dalam salat Tarawih. Benarkah hal ini termasuk dalam perbuatan bidah?, bagaimana hukumnya?. (Maulana, 085349742xxx).
Rangkaian kegiatan shalat tarawih dan shalat witir di kalangan masyarakat Nahdlatul Ulama’ sekaligus analisis penggunaan dasarnya dari Al-Qur’an, hadis dan pandangan ulama adalah :
- Untuk memulai shalat tarawih, bilal mengucapkan kalimat “shallu> sunnat al-tara>wih}i rak’atayn ja>mi’atan rah}imakumulla>h”. Kalimat bilal itu, sebagaimana juga diucapkan setelah selesai salam ke-9 dan ke-10, begitu juga sebelum melakukan shalat witir, sesungguhnya bersinggungan dengan hadis riwayat Imam Bukhari dari ‘Abd Allah ibn ‘Amr ibn al-‘As ra. pada ba>b al-nida>’ bi al-s}ala>tu ja>mi’ah fi> al-kusu>f, yang dinyatakan, “ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasul Allah saw., maka digunakan panggilan “al-s}ala>tu ja>mi’ah”. Dalam kitab-kitab fiqih disebutkan, adzan digunakan sebagai panggilan melakukan shalat fardlu, dan“al-s}ala>tu ja>mi’ah” digunakan sebagai panggilan melakukan selain shalat fardlu,termasuk shalat tarawih dan witir.
- Setelah selesai salam yang ke-1 dari dua rakaat shalat tarawih yang dilakukan, maka bilal mengucapkan kalimat “fad}lan minalla>hi wa ni’mah, wamaghfiratan wa rah}mah”. Dalam kitab Asna> al-mat}a>lib fi> sharh} rawd} al-t}a>lib fas}l s}ala>t al-witr, disebutkan, bahwa kalimat itu digunakan untuk menggambarkan, bahwa shalat witir termasuk macam shalat sunnah yang dimaksudkan untuk menyempurnakan kekurangan shalat-shalat fardlu atas anugerah dan nikmat dari Allah (fad}lan min Alla>h wa ni’mah). Bahkan pada kitab al-mustadrak ‘ala> al-s}ah}i>h}ayn karya Imam al-Hakim pada ba>b tafsi>r surat al-h}ujura>t terdapat hadis riwayat Abu al-Darda’, bahwa kalimat di atas sebagai gambaran kecintaan Allah untuk menanamkan keimanan pada hati orang-orang mukmin dan kebencian Allah terhadap kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan, semua itu hanyalah anugerah dan nikmat dari Allah semata. Dalam kitab tafsir al-Muni>r karya Wahbah al-Zuhayli pada penafsiran surat al-Hujurat ayat 7 dan ayat 8, bahwa kalimat fad}lan min Alla>h wa ni’mah (Qs. Al-Hujurat, 8) di atas sebagai alasan, mengapa Allah mencintai keimanan dan membenci kekafiran (Qs. Al-Hujurat, 7).
- Setelah selesai salam yang ke-2 dari dua rakaat shalat tarawih yang dilakukan, maka bilal mengucapkan kalimat “al-khali>fat al-awwal sayyiduna> Abu> Bakrin al-shiddi>q”. Kalimat itu, sebagaimana diucapkan bilal setelah salam ke-2, ke-4, ke-6, dan ke-8, menurut pemahaman penulis digunakan untuk menjelaskan, bahwa pelaksanaan shalat tarawih yang dilakukan secara berjamaah adalah mengikuti tradisi sahabat khulafa>’ al-ra>shidi>n, dan mengikuti sunnah khulafa>’ al-ra>shidi>n diperintahkan Nabi saw., sebagaimana pada hadis riwayat Ibn Majah dari al-‘Irba>d} ibn Sariyah sebagaimana pada ba>b ittiba>’ sunnat al-khulafa>’ al-ra>shidi>n al-mahdiyyi>n.
- Setelah selesai salam yang ke-3 dari dua rakaat shalat tarawih yang dilakukan, maka bilal mengucapkan kalimat “fad}lan minalla>hi wa ni’mah, wamaghfiratan wa rah}mah”,
- Setelah selesai salam yang ke-4 dari dua rakaat shalat tarawih yang dilakukan, maka bilal mengucapkan kalimat “al-khali>fat al-tha>ni sayyiduna> ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b”,
- Setelah selesai salam yang ke-5 dari dua rakaat shalat tarawih yang dilakukan, maka bilal mengucapkan kalimat “fad}lan minalla>hi wa ni’mah, wamaghfiratan wa rah}mah”,
- Setelah selesai salam yang ke-6 dari dua rakaat shalat tarawih yang dilakukan, maka bilal mengucapkan kalimat “al-khali>fat al-tha>lith sayyiduna> ‘Uthman ibn ‘Affa>n”,
- Setelah selesai salam yang ke-7 dari dua rakaat shalat tarawih yang dilakukan, maka bilal mengucapkan kalimat “fad}lan minalla>hi wa ni’mah, wamaghfiratan wa rah}mah”,
- Setelah selesai salam yang ke-8 dari dua rakaat shalat tarawih yang dilakukan, maka bilal mengucapkan kalimat “al-khali>fat al-ra>bi’ sayyiduna> ‘Aly ibn Abi T{a>lib”,
- Setelah selesai salam yang ke-9 dari dua rakaat shalat tarawih yang dilakukan, maka bilal mengucapkan kalimat “A<khir al-tara>wih} rak’atayn ja>mi’atan rah}imakumulla>h”,
- Setelah selesai salam yang ke-10 dari dua rakaat shalat tarawih yang dilakukan, maka imam membacakan doa dan kemudian bilal mengucapkan kalimat “s}allu> sunnatan min al-witri rak’atayn ja>mi’atan rah}imakumulla>h”.
Terkait dengan pelaksanaan shalat witir, pada kitab al-Majmu>’ karya al-Nawawi sebagai sharh} dari kitab al-Muhadhdhab karya al-Shirazi disebutkan, bahwa bacaan setelah fa>ith}ah pada rakaat pertama dari tiga rakaat shalat witir adalah surat sabbih} isma rabbika, pada rakaat kedua adalah surat qul ya> ayyuha al-ka>firu>n, dan pada rakaat ketiga adalah surat qul huwa Alla>h ah}ad dan al-mu’awwidhatayn, dan ternyata ketentuan itu sebagaimana hadis riwayat Imam Ahmad dari Ubayyi ibn ka’ab.
- Setelah selesai salam dari dua rakaat shalat witir yang dilakukan, maka bilal mengucapkan kalimat “s}allu> sunnatan rak’at al-witri ja>mi’atan rah}imakumulla>h”, atau ditambah dengan kalimat “ma’ al-qunuti ja>mi’atan rah}imakumulla>h” jika telah memasuki hari ke-16 puasa ramadlan. Terkait dengan pelaksanaan doa qunut pada shalat witir di bulan ramadlan, terdapat hadis riwayat Imam Abu Dawud dari al-Hasan ibn Ali, sebagaimana pada ba>b al-qunu>t fi> al-witr.
- Setelah salam dari shalat witir, imam bersama jamaah mengucapkan kalimat :
- “subh}a>n al-malik al-quddu>s” sebanyak tiga kali, sebagaimana hadis riwayat Imam Abu Dawud dari Ubayy ibn Ka’ab, sebagaimana pada ba>b fi> al-du’a>’ ba’d al-witr, adalah Rasul Allah saw. setelah salam dari shalat witir beliau mengucapkan doa “subh}a>n al-malik al-quddu>s”.
- “subbu>h} quddu>s rabbuna> wa rabbul mala>’ikati wa al-ru>h}” sebanyak tiga kali,
- “asyhadu an la> ila>ha illa> Alla>h astaghfiru Alla>h, nas’aluka rid}a>ka wa al-jannah wa na’u>dhu bika min sakhat}ika wa al-na>r” sebanyak tiga kali. Doa ini sebagaimana hadis riwayat Imam al-Nasa’i dari Ali ibn Abi Talib, sebagaimana pada ba>b al-du’a>’ fi> al-witr, bahwa Nabi saw. membaca doa “Alla>humma inni> a’u>dhu bi rid}a>k min sakhat}ik, wa bi mu’a>fatik min ‘uqu>batik, wa a’u>dhu bika minka, la> uh}s}i> thana>’ ‘alayk, anta kama> athnayta ‘ala> nafsika”.
- “Alla>humma innaka ‘afuwwun kari>m tuh}ibb al-‘afwa fa’fu ‘anna> ya> kari>m” sebanyak tiga kali,
- kemudian Imam membaca doa shalat witir,
- Dan terakhir membaca lafal niat puasa ramadlan dengan bahasa arab dan terjemah bahasa jawanya.
Uraian kami di atas setidaknya memberikan jawaban, bahwa rangkaian kegiatan shalat tarawih dan shalat witir di kalangan masyarakat Nahdlatul Ulama’ masih bersinggungan dengan perintah hadis, meskipun tidak selalu langsung dilakukan Nabi saw., tetapi paling tidak beliau memerintahkan perbuatan-perbuatan itu. Dengan demikian, menurut penulis, macam bacaan dan dzikir dengan dipandu langsung oleh bilal setiap selesai dua rakaat dalam salat tarawih tidak termasuk perbuatan bid’ah, karena masih termasuk dalam perintah Rasul Allah saw. dalam hadis “ma> lays fi>h amruna> fahuwa radd: perkara yang tidak kami perintahkan, maka tertolak”.
Bacaan dzikir di antara dua salam dalam shalat tarawih sesungguhnya menjadijeda waktu antara satu shalat dan shalat berikutnya. Karena sesungguhnya shalat tarawih adalah shalat yang menggunakan istirahat (ra>h}at), dan istirahat pada zaman sahabat di Masjid al-Haram adalah melakukan thawaf, bahkan karena di Masjid al-Nabawi Madinah tidak bisa melakukan thawaf, maka jumlah rakaat shalat tarawih ditambah menjadi 36 rakaat. Di lingkungan kita, menurut penulis, wajar jika digunakan jeda berupa bacaan dzikir dan doa, termasuk bacaan shalawat dan tarad}d}i (lantunan doa rad}iya Alla>h ‘anh: semoga Allah memberi ridla) menjadi momentum istirahat sejenak selepas salam, sebelum melanjutkan rakaat-rakaat berikutnya. Hal ini selaras dengan kata tara>wih} yang berarti “beberapa istirahat”, karena jumlah rakaat yang cukup banyak. Syekh Ibn Hajar al-Haytami dalam kitab Tuh}fat al-Muh}ta>j menjelaskan, “wa summiyat tara>wi>h}, li annahum li t}u>l qiya>mihim ka>nu> yastarih}u>n ba’d kull taslimatayn : disebut shalat tarawit, karena para jamaah melakukan istirahat setelah setiap dua rakaat dari rangkaian shalat tarawih yang panjang”. Kecuali itu, bacaan dzikir di atas menjadi penanda hitungan rakaat yang telah dicapai jamaah shalat tarawih, sehingga akan lebih mudah mengingat jumlah rakaat yang sudah ditunaikan, menghindarkan dari kesibukan menghitung, sehingga menambah kekhusyukan beribadah.
Sejumlah ulama menyatakan bahwa praktik tersebut adalah tradisi yang bagus, karena di dalamnya tidak terdapat hal-hal yang bertentangan dengan syari’at, seperti mengubah tata laksana shalat sebagaimana mestinya. Di samping berisi doa dan penghormatan kepada orang-orang mulia, secara bersamaan shalawat dan tarad}d}i> juga dilaksanakan dengan motif yang positif dan di luar prosesi rukun-rukun shalat. Jika pelaksanaan dzikir dan doa di atas dilakukan secara berjamaah, ternyata masih terdapat hadis yang sesuai, yaitu riwayat Imam Muslim dari sahabat Abu Hurayrah dan Abu Sa’id al-Khudri sebagaimana pada ba>b fad}l al-ijtima>’ ‘ala> tilawat al-qur’a>n wa ‘ala> al-dhikr, “sekelompok kaum yang melakukan dzikir kepada Allah akan diliputi oleh malaikat, rahmat dan ketenteraman”. Ibn ‘Abbas ra. juga menjelaskan, bahwa membaca dzikir dengan suara keras setelah sahalat fardlu telah dilakukan para sahabat pada masa Nabi saw., walaupun juga terdapat hadis yang menganjurkan membaca dzikir dengan pelan sebagaimana riwayat Imam Bukhari dari Abu Musa al-Ash’ari sebagaimana pada ba>b ma> yukrah min raf’ al-s}awt fi> al-takbi>r. Karena itu Imam al-Nawawi menyatukan dua hadis itu dengan menganjurkan orang yang berdzikir untuk menyesuaikan situasi dan kondisi.
Demikian uraian kami terhadap persoalan di atas, semoga bermanfat dan mohon maaf jika terdapat kesalahan.
Hormat Kami,
Khamim,
Fakultas Syariah IAIN Kediri
untuk link downloadnya silahkan klik di bawah ini