Kiai adalah sosok penting di masyarakat, sekaligus dianggap memiliki kemampuan memimpin. Setelah konstelasi pemilihan pemimpin akhir-akhir ini, ternyata perempuan berhasil terpilih menjadi pemimpin masyarakat, padahal masih banyak kiai yang “kurang merestui” perempuan menjadi pemimpin masyarakat, walaupun juga terdapat kiai yang “merestui”. Maka bagaimana pemaknaan kembali hadis, yang artinya “tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan”, yang biasa digunakan untuk melarang perempuan menjadi pemimpin masyarakat.
Persoalan kepemimpinan perempuan, dalam kitab fiqih Syafi’iyyah, matn al-gha>yah wa al-taqri>b karya al-Qa>d}i> Abu> Shuja>’ (w. 533H) terkait dengan persyaratan hakim, di antaranya adalah laki-laki. Persyaratan itu didasarkan pada hadis : لن يفلح قوم ولّوا أمرهم امرأة : tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan” (HR. Bukhari ba>b kita>b al-naby saw. ila> kisra> wa qays}ar, hadis nomor 4163). Berdasarkan persyaratan itu, maka tidak sah kepemimpinan perempuan dalam pandangan jumhu>r ulama>’. Pandangan itu kemudian diikuti oleh kelompok pertama Musyawarah kitab Fath} al-Qari>b (MFQ) Pondok Lirboyo Kediri. Kelompok itu berargumen dengan QS. al-Nisa’ 34 : الرجال قوّامون على النساء بمافضل الله بعضهم على بعض : kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan QS. al-Ahzab 33 : وقرن فى بيوتكن ولاتبرجن تبرج الجاهلية الأولى : dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu. Juga didasarkan pada hadis : “lan yuflih} qawm wallaw amrahum imra’at” di atas.
Dua ayat itu ditafsirkan, bahwa lelaki dalam segala hal lebih unggul dari pada wanita dan wanita hendaknya beraktifitas pada sektor domestik bukan pada sektor publik, karena lelaki memiliki kelebihan, baik fisik, fikiran, maupun yang lain. Huruf “lan : tidak akan” pada hadis itu ditafsirkan dengan “larangan secara abadi dan di manapun juga”, sehingga selamanya wanita tidak boleh memimpin suatu bangsa. Hadis lain yang sejalan adalah riwayat Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri, adalah : ما رأيت من ناقصات العقل والدّين للبّ الرّجل من احداكنّ : saya tidak pernah melihat kekurangan akal dan agama bagi orang laki-laki dibanding kalian (HR. Bukhari ba>b tark al-h}a>’id} al-s}awm hadis nomor 298). Kalau kondisi fikiran dan agama kaum wanita adalah lemah, sementara tugas seorang pemimpin sangat membutuhkan pemikiran dan perhatian serius, maka menyerahkan tanggung jawab seperti itu kepada wanita sama halnya menyerahkan urusan bukan pada ahlinya, padahal Nabi Saw. bersabda : اذا وسد الأمر الى غير أهله فانتظر السّاعة : “jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya” (HR.Bukhari ba>b Man Su’ila ‘Ilman wa huwa mushtag}il fi> h}adi>thih fa atamma al-h}adi>th thumma aja>ba al-Sa>’il, hadis nomor 59).
Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok kedua MFQ membolehkan kepemimpinan perempuan sepanjang calon merupakan yang terbaik, sebagaimana pendapat Ibn Jarir al-Tabari yang membolehkan wanita menjadi qa>d}i. Kelompok ini memandang, bahwa analisis historis dan relevansi teks dengan konteks kekinian menjadi pertimbangan dalam merumuskan hukum. Senada dengan kelompok kedua MFQ, kelompok musyawarah kitab H{a>shiyat Qulyu>bi> wa ‘Umayrah yang terkenal dengan al-Mah}alli> (MM) di Pondok Lirboyo Kediri juga, ketika membicarakan teks tentang fas}l shart} al-ima>m pada kita>b al-bugha>t, membolehkan pemimpin wanita. Kelompok ini melengkapi dengan asba>b al-wuru>d, kemudian mengkajinya denan pendekatan ushul fiqih. Dalam memahami ayat 34 surat al-Nisa’ di atas, kelompok MM berpendapat, tidak semua laki-laki mempunyai kelebihan di atas perempuan, karena kata ba’d}ahum ‘ala> ba’d} mengindikasikan, bahwa Allah memberi kelebihan antara yang satu dengan yang lain, baik pada diri kaum laki-laki atau kaum perempuan. Artinya sangat mungkin laki-laki pada suatu ketika mempunyai kelebihan dibanding perempuan, atau sebaliknya perempuan pada suatu ketika justru mempunyai kelebihan dibanding laki-laki. Kata al-rija>l pada potongan ayat di atas diawali dengan huruf “al”, yang dalam perspektif ilmu nah}w merupakan bentuk ism ma’rifat, yang berarti tertentu. Karenanya, kata itu tidak harus difahami “memberikan makna keutamaan pada laki-laki secara keseluruhan dalam semua hal”, tetapi masih memberi peluang pengecualian. Dengan demikian, kurang tepat jika ayat tersebut difahami “sebagai larangan” secara mutlak kepada perempuan untuk menjadi pemimpin. Untuk itu, ayat di atas hendaknya ditafsirkan, “tidak semua laki-laki lebih mampu, lebih layak, dan lebih mumpuni dibanding perempuan”.
Penggunaan hadis “lan yuflih}a qawm wallaw amrahum imra’at” sebagai argumen larangan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin, apabila dilihat dari kaca mata ushul fiqh, belum tentu tepat, sebab hadis ini diawali dengan huruf “lan” yang menurut ulama’ ushul justru tidak berartita’bi>d (meniadakan untuk selama-lamanya) dan tidak berfungsi sebagai ta’ki>d (memperkokoh nafy). Selain itu, redaksi hadis tersebut merupakan kala>m khabar (berita) dan bukan kala>m t}alab (instruktif) yang dengan sendirinya tidak bermakna keharusan untuk menjalankannya. Pemaknaan hadis yang bersifat berita itu, harus dikaitkan dengan sabab al-wuru>d (hal-hal yang melatar belakangi munculnya hadis).
Karena itu, hadis harus difahami dengan pendekatan sosio-historis,pendekatan dengan melihat sejarah sosial dan setting social pada saat dan menjelang hadis disabdakan. Memang secara tekstual, perempuan tidak berhak menjabat sebagai kepala negara, pemimpin masyarakat, termasuk hakim atau berbagai jabatan yang setingkat, sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Hadis tersebut diucapkan Nabi Saw. sewaktu beliau mendengar laporan mengenai suksesi kepemimpinan perempuan yang bernama Bauran binti Syairawaih bin Kisra di Negeri Persia pada tahun 9 H., tatkala Kaisar Persia, Raja Yazdarid III yang bergelar “Kisra” meninggal dunia dengan tanpa anak laki-laki. Sementara kondisi Bauran dikenal lemah dalam hal kepemimpinan untuk menempati posisi sebagai kaisar. Dan pada saat itu dari sisi sejarah bangsa Persia, jabatan kapala negara (raja) hanya dipegang kaum laki-laki. Pada waktu itu, derajat kaum perempuan di mata masyarakat juga masih dipandang minor, artinya kaum laki-laki lebih tinggi derajatnya daripada kaum perempuan. Perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk mengurus kepentingan public, lebih-lebih masalah kenegaraan. Dalam keadaan kondisi Kerajaan Persia dan kondisi sosial seperti itu, wajar jika Nabi Saw. sebagai orang yang memiliki kearifan tinggi mengatakan “bangsa yang menyerahkan kepemimpinannya kepada perempuan tidak akan sejahtera”. Bagaimana akan sejahtera jika orang yang memimpin itu adalah orang yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya?, padahal salah satu syarat ideal pemimpin adalah kewibawaan, di samping leadership yang memadai. Sedang perempuan pada saat itu sama sekali tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin. Oleh karena itu, jika kondisi sosio-historis antropologis masyarakat sudah berubah, ketika masyarakat sudah menghargai perempuan dengan baik dan menerimanya sebagai pemimipin dan telah memiliki kemampuan leadership yang memadai pula, maka sudah barang tentu perempuan boleh mengurus masalah publik, seperti menjadi pemimpin, hakim, direktris rumah sakit, camat, lurah dan sebagainya. Dengan demikian, hadis di atas bersifat kasuistik, artinya hanya berlaku dalam kasus-kasus tertentu dan tidak untuk semua kondisi, sehingga tidak selamanya perempuan akan mengalami kegagalan manakala mereka dipercaya menjadi pemimpin. Sebagi bukti, Al-Qur’an telah melukiskan bagaimana Ratu Balqis pada masa Nabi Sulaiman As. mengalami keberhasilan dalam memimpin bangsanya (lihat QS. Al-Naml, 23 dan QS. Saba’, 15). Kelompok MM juga menambahkan argumen Ibn Jarir Al-T{abari>, bahwa perempuan pada dasarnya boleh memegang tampuk kepemimpinan, seperti jabatan qa>d}i. Karena pengangkatan seorang pemimpin sesungguhnya merupakan perbuatanamr ma’ru>f nahy munkar, yang tidak terbatas pada laki-laki atau perempuan, tetapi bagi siapa saja yang memiliki kualifikasi dan kompetensi yang memadai.
Dr. Khamim, M.Ag.
Dekan Fakultas Syariah IAIN Kediri
untuk link downloadnya silahkan klik di bawah ini