Budaya atau kearifan lokal selalu berkaitan dengan kehidupan manusia di setiap daerah. Hal itu merupakan kekayaan dari masyarakat itu sendiri, baik berasal dari nenek moyang atau budaya baru yang ternyata dilanjutkan oleh anak cucu mereka. Maka tak salah jika pada zaman dahulu, beberapa wali memperkenalkan agama Islam atau berdakwah melalui budaya yang hidup di antara mereka. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sunan Kalijaga, beliau memperkenalkan agama Islam melalui kearifan lokal, berupa pertunjukan wayang. Namun jika dilihat dari berbagai macam budaya yang hidup di setiap daerah, tentu memiliki adat yang beragam yang kemudian akan menimbulkan banyak perbedaan antara satu dengan yang lain. Maka muncullah berbagai pertanyaan tentang “adat atau budaya yang seperti apa sehingga bisa dijadikan ajaran atau adat yang bisa disandingkan dengan agama”.
Mengawali penjelasan tentang persoalan di atas, perlu uraian tentang sunnah menurut ahli hadis dan ahli Usul fiqih. Sunnah yang secara bahasa, berarti “jalan hidup yang baik atau buruk (al-si>rat h}asanat ka>nat aw qabi>h}at)”,[1] dan kebiasaan (al-‘a>dat),[2] mempunyai terminologi yang berbeda antara ahli hadis dengan ahli usul fikih, akibat adanya asumsi dasar tentang perbedaan peran dan fungsi Nabi saw., apakah sebagai ima>m al-ha>di wa al-ra>’id al-na>s}ih} (pemimpin, pemberi petunjuk, pemberi nasihat, teladan, dan panutan) menurut ahli hadis, atau sebagai musharri’ (pembuat syari’at) menurut ahli usul fikih. Menurut ulama hadis sunnah adalah “segala yang berasal dari Nabi saw., baik perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau budi pekerti, maupun jalan hidup, baik yang terjadi sebelum diutus menjadi nabi, sepeti tah}annuth di gua hira’ maupun setelahnya”.[3] Sedang menurut ulama Usul Fiqh, sunnah adalah “segala sesuatu yang berasal dari Nabi saw. selain al-Qur’an, baik perkataan, perbuatan, maupun persetujuan yang pantas menjadi dali>l hukm syar’”.[4] Pada definisi itu, Nabi saw. dipandang sebagai pembuat hukum (musharri’).[5] Karenanya, hadis identik dengan sunnah qawliyyah, maksudnya hadis hanya sebatas pada sunnahyang bersifat perkataan.[6] Menurut ahli Usul Fiqh, dalam keadaan sebagai manusia biasa, ajaran Nabi Muhammad saw. tidak mengikat dan tidak termasuk syari’at. Sedang dalam keadaan sebagai rasul, ajarannya mengikat, sekaligus menjadi syari’at.[7] Selain uraian tentang sunnah, juga perlu uraian tentang hadis menurut ahli hadis, ahli usul fiqih dan ahli fiqih. Menurut ulama hadis, hadis, yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang baru,[8] yang dekat dan belum lama terjadi,[9] adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasul Allah setelah diutus menjadi nabi (bi’that),[10] baik perkataan, perbuatan, persetujuan (taqri>r, perbuatan sahabat yang dibenarkan atau tidak dikoreksi oleh Nabi saw., atau sikap Nabi saw. yang membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan sahabat dengan tanpa memberikan penegasan),[11] maupun seluruh keadaannya; baik sifat fisik atau budi pekerti.[12] Pandangan itu didasarkan pada asumsi, bahwa segala hal yang berkaitan dengan pribadi Nabi saw. harus dicontoh dan diteladani, sehingga pribadi Nabi saw. bersifat mengikat bagi umatnya. Sementara menurut ulama Usul Fiqh,hadis lebih khusus dari pada sunnah, sebab hadis merupakan sunnat qawliyyah.[13]
Untuk menjawab pertanyaan, adat atau budaya yang bisa dijadikan sebagai ajaran atau bisa disandingkan dengan agama?, setidaknya berdasarkan pengertian sunnah secara bahasa, maka adat termasuk kategori sunnah. Tetapi untuk membedah tradisi dalam sebuah hadis, apakah ia sebagai tradisi atau sebagai ajaran (sunnah Nabi saw.), ini perlu analisis dengan menggunakan teori sunnah dan teori hadis dalam pandangan ulama’ Ushul Fiqih. Pada hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurayrah sebagaimana pada ba>b istih}ba>b nika>h} dha>t al-di>n dijelaskan 4 perkara yang menjadi motivasi pernikahan, yaitu harta, status sosial, kecantikan dan agama. Menurut penjelasan Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi dalam sebuah sharh}nya, yang benar makna hadis ini, sesungguhnya Nabi saw. hanya mengabarkan kebiasaan orang-orang ketika menikah dengan termotivasi oleh 4 perkara itu, bukan memerintahkan menikah karena 4 perkara itu, tetapi hanya karena 1 perkara, yaitu agama. Empat perkara itu diungkapkan dengan redaksi kalimat berita, yaitu “tunkah} al-mar’ah li arba’…. : perempuan dinikah karena 4 perkara…”, dan hanya 1 perkara, yaitu agama yang diungkapkan dengan redaksi kalimat perintah, yaitu “fa iz}far bi dha>t al-di>n : carilah perempuan yang beragama”, bahkan dilengkapi dengan jaminan ketenteraman hidup (taribat yada>ka). Perintah itu tegas dan menjadi sebuah motivasi sekaligus syari’ah melakukan pernikahan. Dengan lain kata, nikah akan menjadi sunnah Nabi saw., jika dilakukan karena motivasi agama, bukan motivasi harta, kecantikan dan status sosial. Melalui kasus hadis itu, maka tradisi atau kebiasaan yang terdapat dalam sebuah hadis belum tentu menjadi ajaran (sunnah Nabi), kecuali jika diperintahkan atau disyari’atkan. Dan berdasarkan teori sunnah menurut ulama Usul Fiqh, bahwa sunnah adalah “segala sesuatu yang berasal dari Nabi saw. selain al-Qur’an, baik perkataan, perbuatan, maupun persetujuan yang pantas menjadi dali>l hukm syar’”, dan posisi Nabi saw. sebagai pembuat hukum (musharri’) sekaligus sebagai rasul, maka ajarannya mengikat sekaligus menjadi syari’at. Karena itu, sebuah tradisi akan menjadi ajaran (sunnah), jika ditetapkan sebagai sebuah syari’at oleh orang yang berkapasitas membuat syari’at, yaitu Nabi Muhammad saw.
Uraian selanjutnya tentang ‘urf. ‘Urf (‘a>dat) adalah sesuatu yang telah dikenal di masyarakat dan dilakukan secara terus-menerus, baik berbentuk perkataan atau perbuatan. [14] Contoh perkataan yang menjadi adat adalah pemaknaan kata “al-walad” (anak), yang secara mutlak berarti anak laki-laki, bukan anak perempuan,[15] walaupun secara etimologi, berarti “anak laki-laki atau anak perempuan”, pada persoalan waris atau harta pusaka, sebagaimana pada surat al-Nisa’, 11-12, bahwa kata “walad” pada dua ayat itu, berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan. Sedang contoh perbuatan yang menjadi adat, adalah kebiasaan jual beli barang yang tidak bernilai dengan hanya tukar-menukar secara langsung (bay’ al-mu’a>t}a>h) tanpa akad. ‘Urf merupakan dasar penetapan hukum di luar nas yang digunakan oleh madhhab Malikiyyah dan Hanafiyyah.[16]
Kehujjahan ‘urf sebagai dali>l shar’ didukung oleh QS. al-A’ra>f ayat 199 : “khudh al-‘afw wa’mur bi al-‘urf wa a’rid} ‘an al-ja>hili>n (jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang bodoh). Juga perkataan Nabi saw. riwayat Imam Ahmad ibn Hanbal dari Ibn Mas’ud ra. “…fa ma> ra’a al-muslimu>n h}asanan fa huwa ‘inda Alla>h h}asanun, wa ma> ra’aw sayyi’an fa huwa ‘inda Alla>h sayyi’un : sesuatu yang baik menurut orang-orang Islam, maka adalah baik menurut Allah; dan sesuatu yang jelek menurut orang-orang Islam, maka adalah jelek menurut Allah”. Hadis ini, baik dari segi redaksi maupun isi, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di masyarakat muslim dan sejalan dengan tuntunan umum syari’at Islam merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah.[17] Karena itu ulama Maliki dan Hanafi mengatakan, “sesuatu yang tetap karena ‘urf yang s}ah}i>h} menjadi sesuatu yang tetap karena dali>l shar’i> (al-tha>bit bi al-‘urf ka al-tha>bit bi al-nas})”, atau “al-tha>bit bi al-‘urf tha>bit bi dali>l shar’i>” sebagaimana perkataan penulis kitab Sharh} al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir. Beberapa kaidah yang berhubungan dengan ‘urf, di antaranya adalah “adat itu menjadi hukum (al-‘a>dat muh}akkamah)”, “apa yang telah ditetapkan oleh syara’ secara umum, maka ia dikembalikan pada ‘urf”, “sesuatu yang dinilai baik menurut ‘urf sama dengan sesuatu yang ditetapkan berdasarkan syarat (al-ma’ru>f ‘urfan ka al-mashru>t} shart}an)”, dan “sesuatu yang tetap karena ‘urf sebagaimana sesuatu yang tetap karena nas (al-tha>bit bi al-‘urf ka al-tha>bit bi al-nas})”.
‘Urf (‘a>dat) ada dua macam, yaitu adat yang benar (s}ah}i>h}) dan adat yang rusak (fa>sid).[18] Adat yang benar adalah kebiasaan yang berlaku secara umum, tidak bertentangan dengan dali>l syar’i>, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan kewajiban. Contohnya adalah pemberian mas kawin. Adat yang rusak adalah adat yang berlaku di suatu tempat, namun bertentangan dengan dali>l syar’i>, menghalalkan yang haram dan membatalkan kewajiban. Contohnya, pesta dengan menghidangkan minuman haram, dan membunuh anak perempuan yang baru lahir dan kumpul kebo (hidup bersama lain jenis tanpa nikah). Imam Malik banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan penduduk Madinah (‘amal ahl al-Madi>nah). Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya menetapkan hukum yang berbeda karena perbedaan adat. Imam Syafi’i ketika tinggal di Mesir dikenal mempunyai pendapat yang baru (qawl jadi>d) karena perbedaan adat dari pendapatnya yang lama ketika tinggal di baghdad (qawl qadi>m). Hal itu membuktikan bahwa ketiga madhhab fiqih itu berhujjah dengan ‘urf.[19]
Kebiasaan jual beli dengan hanya tukar-menukar barang dengan barang atau barang dengan uang secara langsung tanpa akad (bay’ al-mu’a>t}a>h), menurut ulama Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah adalah boleh, sepanjang telah menjadi sebuah adat yang berlaku sepanjang masa dan tidak seorangpun yang mengingkarinya, karena itu menjadi indikasi adanya kerelaan. Tetapi Ulama Syafi’iyyah mengatakan, tidak sah jual beli secara mu’a>t}ah, karena jual beli harus menggunakan akad sebagai wujud adanya kerelaan penjual dan pembeli. Dalam sebuah hadis, Rasul Allah saw. bersabda : “innama> al-bay’ ‘an tara>d} : hanyalah sesungguhnya jual beli didasarkan atas kerelaan”. Akad menjadi wujud kerelaan, karena kerelaan adalah sesuatu yang tidak tampak. Tradisi praktek jual beli secara mu’a>t}at itu termasuk tradisi yang s}ah}i>h}, karena tidak bertentangan dengan dali>l syar’i>, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan kewajiban. Karena itu, tradisi ini bisa dijadikan sebagai ajaran dan disandingkan dengan agama.
Dr. Khamim, M. Ag.
Dekan Fakultas Syariah IAIN Kediri
[1] Muhammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H{adi>th ‘Ulu>muhu wa Mus}t}alah}uh, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1989), 17.
[2] ‘Ali> ibn Muh}ammad al-Jurja>ni>, Kita>b al-Ta’ri>fa>t, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), 22.
[3] Al-Khat}i>b, Us}u>l al-H{adi>th …., 19.
[4] Ibid, 27.
[5] Muhammad Abu Zahrah, Us}u>l al-Fiqh (Beirut: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, tth.), 105.
[6] Al-Khat}i>b, Us}u>l al-H{adi>th ….., 27 dan Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (Kuwait: Da>r al-Qalam, tth.), 36-37).
[7] Khalla>f, Ilmu Us}u>l ….., 44.
[8] Muhammad al-S{abba>gh, al-H{adi>th al-Nabawi>, (Riya>d}: al-Maktab al-Isla>mi>, 1972), 13.
[9] Muhammad Mahfu>z} ibn ‘Abd Alla>h al-Tirmasi>, Manhaj Dhawi> al-Naz}ar, (Beirut: Dar al-Fikr, 1974), 8.
[10] Al-Khat}i>b, Us}u>l al-H{adi>th ……, 27.
[11] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), 15.
[12] Al-Khat}i>b, Al-Sunnat Qabl al-Tadwi>n (Kairo: Maktabat Wahbah, 1963), 16 dan Ranuwijaya, Ilmu Hadis …, 15.
[13] Al-Khat}i>b, Us}u>l ……, 27.
[14] Zahrah, Us}u>l ….., 273.
[15] Ibid.
[16] Khallaf, ‘Ilm Us}u>l …., 89.
[17] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, T.Th.), 212-213.
[18] Zahrah, Us}u>l …, 274.
[19] Khallaf, ‘Ilm Us}u>l …., 90 dan Zahrah, Us}u>l …, 275.
untuk link downloadnya silahkan klik di bawah ini