Hijrah kini menjadi tema utama pembahasan kita, karena pemaknaan kata “hijrah” dan implementasinya dalam kehidupan memiliki banyak versi dari setiap pelakunya. Menurut sebagian kalangan, hijrah adalah perubahan kondisi menuju pada kebaikan, seperti dari pakaian yang mulanya tidak berkerudung, kemudian mengganti pakaiannya dengan hijab dan menutup aurat. Di sisi lain, hijrah itu bermula dari hati. Padahal jika dilihat pada sejarah Islam, hijrah pada zaman Nabi Muhammad saw. adalah berpindah dari Makkah ke Madinah dengab tujuan menyebarkan dan mengajak umat manusia untuk memeluk agama Islam, karena pada masa itu kota Makkah tidak lagi mudah untuk ditaklukkan. Maka dari itu, Rasulullah saw. melaksanakan hijrah menuju Madinah dan kemudian kembali lagi ke Mekkah ketika sudah menemukan banyak pasukan untuk perang. Oleh karena itu, jika dipadukan dengan fenomena yang terjadi sekarang, bagaimana sesungguhnya makna “hijrah” dan penerapan yang sebenarnya?.
Terkait dengan persoalan itu setidaknya terdapat tiga hadis sesuai fokus kajian ini, yaitu “la> hijrat ba’d al-fath} …. : tiada hijrah setelah terbuka kembali kota makkah ….”, “… wa al-muha>jir man hajara ma> naha> Alla>h ‘anh : …. dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang telah dilarang Allah”, dan “fa man ka>nat hijratuh ila> dunya> yus}i>buha> aw ila> imra’ah yankih}uha> fa hijratuh ila> ma> ha>jara ilayh : barangsiapa yang berhijrah untuk mendapatkan dunia atau untuk menikahi seorang perempuan, maka hijrahnya untuk sesuatu yang ia niatkan”.
Hadis pertama “la> hijrat ba’d al-fath}” dengan berbagai redaksinya kebanyakan bersumber dari Ibn ‘Abbas. Hadis Ibn ‘Abbas banyak diriwayatkan para mukharrij, yaitu Imam Bukhari sebagaimana pada ba>b la> hijrat ba’d al-fath}, Imam Muslim sebagaimana pada ba>b al-muba>ya’ah ba’d fath} makkah ‘ala> al-Isla>m wa al-jiha>d wa al-khayr wa baya>n ma’na> la> hijrat ba’d al-fath}, Imam Abu Dawud, selain juga bersumber dari Mu’awiyah sebagaimana pada ba>b fi al-hijrah hal inqata’at, Imam al-Tirmidhi sebagaimana pada ba>b ma> ja>’a fi> al-hijrah, Imam al-Nasa’i selain juga bersumber dari ‘Umar ibn al-Khattab yang menggunakan redaksi la> hijrah ba’d wafa>t Rasu>l Alla>h saw. sebagaimana pada dhikr al-ikhtila>f fi> inqit}a>’ al-hijrah, dan Imam al-Darimi sebagaimana pada ba>b la> hijrat ba’d al-fath}.
Secara lengkap, sebagaimana riwayat Imam Bukhari hadis itu berbunyi : Qa>la al-Nabiy s}aw. yawm fath} makkah- : “la> hijrata wa la>kin jiha>d wa niyyah, wa idha> ustunfirtum fa infiru> : Nabi saw. bersabda ketika hari fath} makkah : tidak ada hijrah tetapi hanya jihad dan niat, jika kalian diperintah berjihad, maka pergilah”. Al-Khattabi sebagaimana dinukil Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath} al-Ba>ri>, berpendapat, bahwa pada awal-awal Islam hijrah diwajibkan atas orang Islam karena ummat Islam di Madinah masih berjumlah sedikit dan mereka sangat butuh bergabung dengan lainnya. Namun setelah fath} makkah dan ummat Islam bertambah banyak, kewajiban hijrah ke Madinah menjadi gugur, tinggal kewajiban jihad dan niat melakukan kebaikan bagi orang Islam yang tinggal di Madinah atau terdapat musuh. Karena itu hikmah kewajiban hijrah bagi ummat Islam adalah untuk menyelamatkan orang-orang Islam yang tinggal di negeri orang-orang kafir dan mendapatkan siksaan dari mereka. Berdasarkan kelanjutan hadis itu, dijelaskan sebagaimana pendapat al-Tibiy, bahwa hijrah yang berarti meninggalkan tanah air dan wajib bagi setiap ummat Islam tidak berlaku lagi, namun meninggalkan tanah air untuk melakukan jihad tetap berlangsung, sebagaimana karena niat yang baik, seperti keluar untuk mencari ilmu. Karena itu, hijrah dengan pengertian meninggalkan tanah air untuk menghindarkan diri dari orang-orang kafir sudah tidak berlaku lagi, tetapi untuk kepentingan jihad atau mencari ilmu masih tetap berlaku.
Secara lengkap, sebagaimana riwayat Imam Muslim hadis itu berbunyi : Qa>la Rasu>l Alla>h s}aw. yawm al-fath}-fath} makkah- : “la> hijrata wa la>kin jiha>d wa niyyah, wa idha> ustunfirtum fa infiru> : Rasul Allah saw. bersabda ketika hari fath} makkah : tidak ada hijrah tetapi hanya jihad dan niat, jika kalian diperintah berjihad, maka pergilah”. Hadis itu mengandung pengertian, bahwa hijrah dari negeri kafir (da>r al-h}arb) menuju negeri Islam (da>r al-Isla>m) tetap berlaku hingga hari kiamat. Namun hadis itu ditakwil, bahwa tidak terdapat hijrah setelah terjadi fath} makkah, karena Makkah sudah menjadi Islam, atau kewajiban hijrah telah terputus setelah fath} makkah. Karenanya mencari kebaikan dengan cara berhijrah telah terputus setelah fath} makkah, tetapi kebaikan hanya didapat dengan cara berjihad dan niat yang baik. Dan jika imam mengharuskan melakukan jihad, maka lakukan walaupun sebatas fadlu kifayat. Terkait dengan penjelasan itu, Imam Muslim membuat topik hadis “bab berbaiat setelah fath makkah untuk tetap memeluk Islam, melakukan jihad dan melakukan kebaikan”.
Hadis yang kedua, adalah “… wa al-muha>jir man hajara ma> naha> Alla>h ‘anh”. Hadis itu bersumber dari ‘Abd Allah ibn ‘Amr, sebagaimana riwayat Imam Bukhari pada ba>b al-muslim man salim al-muslimu>n min lisa>nih wa yadih : orang islam adalah orang yang bisa menyelamatkan fitnah lisan dan tangannya kepada orang lain” dan ba>b al-intiha>’ ‘an al-ma’a>s}i> : berhenti dari perbuatan-perbuatan maksiat”. Hadis ini dimaksudkan untuk memberitahukan kepada orang yang tidak bisa melakukan hijrah karena telah terjadi fath} makkah, bahwa mereka tetap saja bisa melakukan hijrah dengan jalan meninggalkan larangan Allah, karena ia sesungguhnya adalah orang yang berhijrah secara sempurna. Hadis ini juga sekaligus mengingatkan kepada orang yang telah melakukan hijrah untuk tidak merasa cukup hanya dengan melakukan hijrah tanpa melakukan perintah dan meninggalkan larangan Allah. Imam Abu Dawud menjelaskan topik hadis ini dengan “ba>b t}u>l al-qiya>m : lamanya melakukan qiyam al-layl”, yang bersumber dari riwayat ‘Abd Allah ibn ‘Amr dan ‘Abd Allah ibn Hubshiy al-khath’ami, sebagaimana Imam al-Nasa’i walaupun dengan “ba>b juhd al-muqill : kemampuan sedekah dari orang yang mempunyai sedikit harta”. Pada matn hadis riwayat Imam al-Nasa’i ini dilanjutkan dengan isi hadis tentang pengertian hijrah dengan meninggalkan perkara yang diharamkan Allah dan jihad yang utama adalah jihad melawan orang-orang mushrik dengan harta dan jiwa. Selain dengan judul itu, juga diberi judul “s}ifat al-muslim” yang bersumber dari riwayat ‘Abd Allah ibn ‘Amr, yang menjelaskan pengertian hijrah dengan meninggalkan larangan Allah. Sementara Imam Ibn Majah meriwayatkan hadis tentang pengertian hijrah ini dari sumber Fad}a>lat ibn ‘Ubayd sebagaimana pada ba>b h}urmat dam al-mu’min wa ma>lih : keharaman darah dan harta orang mukmin”, bahwa hijrah adalah meninggalkan kesalahan dan dosa.
Hadis ketiga, adalah “… fa man ka>nat hijratuh ila> dunya> yus}i>buha> aw ila> imra’ah yankih}uha> fa hijratuh ila> ma> ha>jara ilayh : … barangsiapa yang berhijrah untuk mendapatkan dunia atau untuk menikahi seorang perempuan, maka hijrahnya untuk sesuatu yang ia niatkan”. Hadis itu bersumber dari ‘Umr ibn al-Khattab, sebagaimana riwayat Imam Bukhari pada ba>b hijrat al-naby wa as}h}a>bih ila> al-madinah : hijrah Nabi saw. dan para sahabatnya ke Madinah”. Hadis ini secara umum membicarakan pentingnya ikhlas dan niat yang benar dalam melakukan kebaikan, khususnya hijrah, karena orang yang melakukan kebaikan dengan ikhlas dan niat yang benar akan sama dengan melakukan hijrah kepada Allah dan RasulNya. Imam Muslim juga meriwayatkan hadis itu dari sumber yang sama sebagaimana pada bab “qawlih s}aw. Innama> al-a’ma>l bi al-niyyah, wa annahu> yadkhul fi>h al-ghazw wa ghayruh min al-a’ma>l” . Selain hadis itu membicarakan pentingnya niat pada amal perbuatan terutama ibadah, hadis itu juga membicarakan tujuan melakukan hijrah. Imam Abu Dawud juga meriwayatkan hadis itu, sebagaimana pada ba>b fi>ma> ‘uniya bih al-t}ala>q wa al-niyyat”, yang membicarakan tentang tujuan talak dan niat. Bahkan Imam al-Tirmidhi meriwayatkan hadis itu pada ba>b ma> ja>’a fi>man yuqa>til riya>’an wa li al-dunya> untuk menjelaskan keberadaan orang yang berperang dengan pamrih dunia. Namun al-Nasa’i membicarakan hadis itu pada ba>b al-niyyah fi> al-wud}u>’, sebagaimana juga Ibn Majah pada ba>b al-niyyah, tampaknya keduanya memfokuskan pentingnya niat khususnya dalam melakukan wudlu’.
Berdasarkan uraian penjelasan isi hadis di atas, maka makna hijrah untuk kontek sekarang ini adalah peralihan dari kondisi melakukan kejelekan menuju melakukan kebaikan terutama terkait dengan penegakan agama. Atau perubahan dari kondisi yang jelek menuju kondisi yang baik. Karena makna hijrah sebagaimana pada hadis yang pertama di atas telah berakhir dan diganti dengan melakukan jihad, yaitu bersungguh-sungguh melakukan kebaikan agama dan kemanusiaan. Demikian penjelasan yang bisa kami lakukan, semoga bermanfaat dan mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan.
Dr. Khamim, M.Ag.
Dekan Fakultas Syariah IAIN Kediri
untuk link downloadnya silahkan klik di bawah ini