Pertanyaan:
Saya mau bertanya tentang puasa. Ada hadis yang mengatakan tidak boleh berpuasa di hari jum’at, kecuali di hari sabtu atau hari kamisnya berpuasa. Dalam hal ini terdapat hadis yang berbunyi: لايصومنّ أحدكم يوم الجمعة إلا أن يصوم قبله أو بعده : janganlah kalian berpuasa pada hari Jum’at kecuali berpuasa sebelum atau sesudahnya (HR Al-Bukhari). Pertanyaanya, bagaimana dengan amalan puasa daud, yaitu ketika hari Senin berpuasa, maka hari Selasa tidak berpuasa; ketika hari Rabu berpuasa, maka hari Kamis tidak berpuasa; dan ketika hari Jum’at berpuasa, maka hari Sabtu tidak berpuasa. (Ahmad Wasi’ir Rizqy, dari Jember).
Jawaban:
Hadis yang disebutkan penanya di atas diriwayatkan Imam al-Bukhari pada bab shaum yaum al-jumu’ah dari sahabat Jabir, dan juga dari Abu Hurairah, yang ditanya: “apakah Nabi saw. mencegah berpuasa pada hari jum’at?”, kemudian ia mengatakan: “ya (dicegah)”, jika berpuasa hanya pada satu hari (menurut riwayat selain Abu ‘Ashim). Karenanya, Imam Muslim meriwayatkan hadis yang sama, dari Abu Hurairah sebagaimana pada kitab al-shiyam dengan memberi bab karohat shiyam yaum al-jum’ah munfaridan (makruh berpuasa pada hari jum’at secara tersendiri, tanpa diiringi puasa pada hari sebelum atau sesudahnya).
Apa yang disabdakan Nabi saw. tentang larangan berpuasa hanya pada hari jum’at di atas, diterapkan Nabi saw. kepada Juwairiyah binti al-Harits yang berpuasa pada hari jum’at, dan ditanya: “apakah kamu berpuasa pada hari kemarin?”, ia mengatakan: tidak. Nabi saw. bertanya lagi: “apakah kamu hendak berpuasa pada esok hari?”, ia mengatakan: tidak. Maka Nabi bersabda: “berbukalah”. Perintah Nabi saw. untuk berbuka di saat berpuasa hanya pada hari jum’at menunjukkan adanya larangan berpuasa hanya pada hari jum’at, sebagaimana penetapan topik hadis oleh Imam Muslim di atas.
Dalam kitab fiqih, misalnya Tuhfat al-Habib, disebutkan, bahwa yang dihukumi makruh berpuasa adalah berpuasa hanya pada hari jum’at, atau hari sabtu, atau hari ahad. Sehingga hukum makruh itu adalah karena menyendirikan (infirad) berpuasa hanya pada satu hari tertentu dan tidak dibarengi dengan hari sebelum atau hari sesudahnya. Tetapi hukum makruh itu berlaku jika tanpa suatu sebab. Karenanya, jika terdapat suatu sebab, misalnya kebiasaan berpuasa dawud, maksudnya, sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa, maka tidak ada hukum makruh dalam praktek puasa ini.
Dalam kitab Subul al-Salam, ketika menjelaskan hadis riwayat Abu Hurairah tentang larangan mengkhususkan berpuasa pada hari jum’at, Imam al-Shan’ani menjelaskan pandangan jumhur ulama, bahwa larangan berpuasa hanya pada hari jum’at itu bersifat makruh tanzih, sebagaimana hadis Ibn Mas’ud, bahwa “Rasul Allah saw. berpuasa tiga hari pada setiap bulan, dan sedikit sekali tidak berpuasa pada hari jum’at”. Perbuatan Nabi saw. ini menunjukkan, bahwa larangan berpuasa pada hari jum’at di atas bukan larangan yang bersifat tahrim (haram). Bahkan di luar kajian teks hadis di atas, sesungguhnya terdapat hikmah yang perlu dijelaskan terkait dengan larangan berpuasa hanya pada hari jum’at, yaitu bahwa hari jum’at merupakan hari raya, yang tentunya harus diperlihatkan rasa senang melalui makan, minum dan dzikir bersama.
Demikian yang bias kami jelaskan terkait pertanyaan di atas, terima kasih atas segala perhatian dan mohon maaf atas segala kekurangan.
Hormat kami,
Tim LBM Fakultas Syarian IAIN Kediri