Diskusi Ilmiah Tentang Urgensi Kafaah dalam Pernikahan oleh LBM IAIN Kediri

Kediri, 16 Mei 2024 – Lajnah Bahtsul Masail (LBM) IAIN Kediri menggelar diskusi ilmiah bertema “Urgensi Kafaah/Kesetaraan Pasangan dalam Pernikahan”. Diskusi yang dipandu oleh Ustadz Mohammad Asy’ari, Dosen Fakultas Syari’ah sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Yambu’ul Qur’an Plosoklaten ini diadakan pada Kamis, 16 Mei 2024, dan diikuti oleh beberapa anggota LBM yang merupakan mahasiswa aktif Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah.


Diskusi ini cukup menarik, karena selain dikemas selayaknya format Bahtsul Masail yang biasa dilakukan di pesantren, masing-masing peserta tidak hanya mengacu pada referensi kitab-kitab salaf, tetapi juga mengkomparasikannya dengan ketentuan yang tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam serta rasionalisasi tujuan kafa’ah dan pernikahan. Tema kafaah, atau kesetaraan pasangan dalam pernikahan, dibahas secara mendalam dan menarik perhatian para peserta.
Dalam diskusi, dinyatakan bahwa kafaah bukanlah syarat atau rukun pokok dalam pernikahan yang menentukan keabsahan nikah. Namun, urgensinya tetap diakui sebagai bentuk antisipasi dan pengawalan untuk memastikan pernikahan terbebas dari aib (cela) dan berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan, yakni keharmonisan dan keberlangsungan rumah tangga serta terhindar dari perzinaan. Sehingga ketika wali maupun anak perempuan sebagai pelaku pernikahan mengabaikan kafaah tersebut, maka pernikahan tetap bisa dilangsungkan dan sah hukumnya.


Dalam hal ini, ulama fiqih memiliki pandangan yang beragam mengenai kriteria kafaah, para peserta menampikan berbagai pendapat ulama mengenai kriteria ini. Keragaman pandangan ulama ini dinilai sebagai cerminan keluwesan fikih dalam memberikan solusi hukum sesuai dengan latar belakang pelaku pernikahan yang beragam. Hal ini sekaligus menunjukkan betapa dinamisnya hukum Islam dalam menyikapi perbedaan kondisi masyarakat. Di antaranya menurut Imam Nawawi al-Bantani pada kitab Nihayatuz Zain, bahwa kafaah meliputi lima hal, yaitu: pertama, sifat merdeka (bukan budak) dalam diri calon suami dan ayahnya; kedua, terjaga agamanya; ketiga nasab; keempat pekerjaan; dan kelima, terbebasnya suami dari aib nikah. Hal ini sangat berbeda dengan yang ada dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang menyebutkan bahwa kafaah hanya dalam batas usia perkawinan, yaitu usia 19 tahun bagi laki-laki dan usia 16 tahun bagi perempuan (Pasal 15 Ayat 1), dan masalah perbedaan agama atau ikhtilaf al din (Pasal 61).


Diskusi ini merupakan putaran kedua yang diadakan secara intensif dua kali dalam setiap bulan dan diharapkan dapat menjadi pemantik semangat bagi para mahasiswa untuk lebih giat dan tajam dalam menganalisis berbagai perkara hukum, khususnya yang berkaitan dengan hukum keluarga. Selain itu tema yang dibahas juga sangat menarik karena bisa menjadi bahan penting untuk menjawab keingintahuan sebagian orang mengenai relevansi kafaah dalam perkembangan hukum keluarga saat ini. (lbm_fasya)